Assalamu'alaikum Para Ahli Surga

Senin, 09 Desember 2013

Tuan Guru Zaini Abdul Ghani

Kyai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang bergelar Al Alimul Allamah Al Arif Billaah Albahrul Ulum Al Waliy Qutb As Syeekh Al Mukarram Maulana (biasa dipanggil Abah Guru Sekumpul atauTuan Guru Ijai).


Beliau adalah sufi termasyhur, juga sosok Wali Allah kharismatik Martapura, Kalimantan Selatan, yang menyatukan syari’at, tarekat dan hakikat dalam dirinya.
Beliau lebih dikenal dengan sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul, dan juga salah seorang ulama yang mempopulerkan Simthad Durar atau Maulid Habsyi di Kalimantan Selatan. Pada zamannya Guru Ijai adalah satu-satunya ulama Kalimantan, atau mungkin di Indonesia, yang mendapat otoritas untuk mengijazahkan Tarekat Samaniyyah yang didirikan oleh MUHAMMAD SAMAN.


Masa kecil dan pendidikan

Zaini Abdul Ghani atau Guru Ijai lahir pada 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 H) di Kampung Tunggul Irang Seberang, Martapura. Beliau masih keturunan dari ulama besar Syekh ARSYAD AL-BANJARI. Di masa kecilnya beliau memiliki keistimewaan yakni tak pernah mengalami “mimpi basah” (ihtilam). Pendidikan pertamanya diberikan oleh kedua orang tuanya, Haji Abdul Ghani dan Hajah Masliah binti Haji Mulya, dan oleh neneknya, Hajah Salbiyah. Bersama neneknya inilah beliau suka sekali membaca al-Qur’an.  Pada usia tujuh tahun beliau masuk madrasah di Kampung Keraton, Martapura. Pada masa kecil ini beliau belajar al-Qur’an pertama kali kepada Guru Hasan. Orang tuanya, yang tergolong orang sederhana, selalu membekalinya sebotol minyak untuk diberikan kepada gurunya ini. Sejak usia 10 tahun Guru Ijai telah dikaruniai kassyaf hissi, yakni mampu melihat dan mendengar apa-apa yang tersembunyi atau hal-hal ghaib. Pada usia 14 tahun beliau dikaruniai futuh(pencerahan spiritual) saat membaca sebuah tafsir al-Qur’an. Pada masa remaja ini pula beliau mengalami perjumpaan spiritual dengan Sayyidina Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. Kedua cucu Rasulullah ini masing-masing membawa pakaian dan mengenakannya langsung kepada beliau lengkap dengan sorbannya.

Beliau melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Datu Kalampian Bangil, Jawa Timur, kepada Kyai Sarwani Abdan yang juga berasal dari Martapura. Di sini beliau selain mendapat pendidikan syariat juga mendalami ilmu spiritual. Selanjutnya beliau berguru kepada Syekh Falah di Bogor. Selain kepada kedua ulama ini, beliau juga mendalami syariat dan tarekat kepada Syekh Muhammad Yasin Padang di Mekah, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Isma’il Yamani, Syekh Abdul Qadir al-Baar, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutby, Allamah Ali Junaidi (Berau) ibn Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad. Atas petunjuk Syekh Ali Junaidi, beliau kemudian belajar kepada Syekh Fadhil Muhammad (Guru Gadung). Kepada Guru Gadung ini Guru Ijai belajar tentang ajaran Nur Muhammad. Beliau juga mendapat ijazah Maulid Simthud Durar dari sahabat karibnya, Habib Anis ibn Alwi ibn Ali al-Habsyi dari Solo, Jawa Tengah.

Beliau sempat menjadi pengajar di Pesantren Darussalam Martapura selama lima tahun, kemudian membuka pengajian di rumahnya sendiri pada 1970-an, di dampingi oleh seorang kyai terkenal yakni Guru Salman Bujang (Guru Salman Mulya). Pengajian dimulai setiap hari Kamis petang hingga malam Jum’at. Pada 1988 beliau pindah ke Kampung Sekumpul, membuka kompleks perumahan ar-Raudhah atau Dalam Regol. Sejak itu kewibawaan dan kharismanya memancar luas – murid-muridnya dan tamu-tamunya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari negeri jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Sebagian datang untuk berguru, sebagian mencari barakahnya, dan sebagian ingin berbaiat Tarekat Samaniyyah. Juga beberapa tokoh nasional menyempatkan diri mengunjunginya, seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati, AA Gym dan sebagainya.

Pengaruh kehidupan keluarga

Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil ia sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnya sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun deras, sedangkan rumah Guru Sekumpul sekeluarga sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya menelungkupinya untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.

Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.

Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.

Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah beliau menyampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Guru Ijai menikah tiga kali, dan dikarunia dua putra dari istri keduanya, Hajjah Laila, yakni Muhammad Amin Badali al-Banjari dan Ahmad Hafi Badali al-Banjari.

Ajaran dan karamah
Sebagai ulama, beliau dikenal sebagai orang yang amat lembut, kasih sayang, sabar, dermawan dan tekun. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, beliau tak pernah mengeluh – bahkan pernah beliau dipukuli oleh orang-orang yang dengki kepadanya namun beliau tidak mengeluh atau mendendam sama sekali. Beliau juga mengajarkan agar orang senantiasa mencintai dan hormat kepada ulama yang baik dan saleh. Hal ini dicontohkan dalam sikapnya: ketika masih kecil beliau selalu menunggu di tempat yang biasa dilewati oleh Syekh Fadhil Zainal Ilmi pada hari-hari tertentu semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan kyai tersebut. Jika ada yang mengkritik atau mencaci-maki ajaran tarekatnya, atau mengejek keadaan dirinya, beliau hanya diam, karena beliau menganggap mereka adalah orang-orang yang belum mengerti dan memahami. Tamu-tamu yang datang selalu dijamu makanan, termasuk pada waktu pengajian. Tidak kurang dari 3000 orang selalu datang ke pengajiannya dan selalu diberi jamuan makan.

Kedermawanannya ini tampak bukan hanya kepada lingkungan sekitar, tetapi juga ke setiap tempat yang disinggahinya. Salah satu pesannya adalah “Jangan bakhil” karena itu adalah sifat tercela. Beliau sering mengutip pesan “pintu surga diharamkan bagi orang bakhil.” Beliau juga mengajarkan apa yang disebutnya kaji-gawi, artinya menuntut ilmu dan diamalkan. Salah satu keunikannya dalam berdakwah adalah perhatiannya kepada kesehatan umat. Pada waktu tertentu beliau mendatangkan dokter spesialis (jantung, ginjal, paru, mata, dan sebagainya) untuk memberikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. Beliau juga menulis beberapa kitab, di antaranya adalah Risalah MubarakahManaqib as-Syaikh as-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiri al-Hasani as-Saman al-MadaniRisalah Nuraniyah fi Syarhit Tawassualtis Sammaniyah; dan Nubdzatun fi Manaqib al-Imam al-Masyhur bil-Ustadz al-A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alawy.

Beberapa kisah karamahnya diantaranya adalah sebagai berikut. Saat masih di Kampung Keraton beliau biasanya duduk-duduk dengan beberapa orang sambil bercerita tentang orang-orang terdahulu untuk mengambil pelajaran dari kisah itu. Suatu saat beliau bercerita tentang buah rambutan, yang saat itu belum musimnya. Tiba-tiba beliau mengacungkan tangannya ke belakang, seolah-olah mengambil sesuatu, dan mendadak di tangan beliau sudah memegang buah rambutan matang, yang kemudian beliau makan. Beliau juga bisa memperbanyak makanan – setelah makan sepiring sampai habis, tiba-tiba makanan di piring itu penuh lagi, seakan-akan tak dimakan olehnya. Dikisahkah pula, suatu ketika terjadi musim kemarau panjang, dan sumur-sumur mengering. Masyarakatpun meminta kepada Guru Ijai agar berdoa meminta hujan. Beliau lalu mendekati sebatang pohon pisang, menggoyang-goyangkan pohon itu dan tak lama kemudian hujan pun turun. Beliau juga dikenal bisa menyembuhkan banyak orang dengan kekuatan spiritualnya.

Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan beliau adalah dia sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke rumah.

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya ditobatkan.

Pada usia 9 tahun pas malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, ia kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang kosong.

Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan menjadi guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.

Meninggal dunia

Sebelum meninggal dunia Guru Ijai sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Tetapi pada hari Selasa malam beliau pulang dan tiba di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, pada pukul 20.30. Keesokan harinya, Rabu 10 Agustus 2005, pukul 5.10 waktu setempat, beliau meninggal dunia. Ribuan orang berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir dan mengiringi jenazah beliau hingga ke pemakaman. Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum. Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.
Petuah

Meski memiliki karamah, beliau selalu berpesan agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).

Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
  1. Menghormati ulama dan orang tua
  2. Baik sangka terhadap muslimin
  3. Murah harta
  4. Manis muka
  5. Jangan menyakiti orang lain
  6. Mengampunkan kesalahan orang lain
  7. Jangan bermusuh-musuhan
  8. Jangan tamak atau serakah
  9. Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
  10. Yakin keselamatan itu pada kebenaran.

Seputar Nasab Beliau


Beliau sering disebut-sebut sebagai Habib keturunan Rasulullah, padahal beliau sendiri tidak pernah menambahkan dibelakang nama beliau dengan fam tertentu. Lalu darimana isyu tersebut?, mari kita telusuri nasab beliau.
  1. K H. Muhammad Zaini
  2. Abdul Ghani
  3. H Abdul Manaf
  4. Muhammad Seman
  5. H M. Sa’ad
  6. H. Abdullah
  7. Mufti H. M. Khalid
  8. Khalifah H. Hasanuddin
  9. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Sampai disini, tidak ada perbedaan karena memang diingat, dicatat, dan dijaga dengan baik oleh Guru Sekumpul serta keluarga beliau. Perbedaan terjadi ketika kita meneliti nasab dari Sekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang merupakan tokoh Islam terbesar di bumi Banjar.


Ada beberapa versi catatan nasab Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ada yang mengatakan lima versi, namun yang saya temukan hanya dua dan itupun masih dalam versi yang sama karena yang kedua tidak jauh beda dengan yang pertama, hanya ketinggalan 2 orang, mungkin kesalahan penyalinan saja.
Pertama, catatan dari 3 kitab, yaitu:  Syajaratul Arsyadiyah, Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, dan Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari. Yaitu sebagai beikut:
  1. Muhammad Arsyad Al Banjari
  2. Abdullah
  3. Abu Bakar
  4. Sultan Abdurrasyid Mindanao
  5. Abdullah
  6. Abu Bakar Al Hindi
  7. Ahmad Ash Shalaibiyyah
  8. Husein
  9. Abdullah
  10. Syaikh
  11. Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus)
  12. Abu Bakar As Sakran
  13. Abdurrahman As Saqaf
  14. Muhammad Maula Dawilah
  15. Ali Maula Ad Dark
  16. Alwi Al Ghoyyur
  17. Muhammad Al Faqih Muqaddam
  18. Ali Faqih Nuruddin
  19. Muhammad Shahib Mirbath
  20. Ali Khaliqul Qassam
  21. Alwi
  22. Muhammad Maula Shama’ah
  23. Alawi Abi Sadah
  24. Ubaidillah
  25. Imam Ahmad Al Muhajir
  26. Imam Isa Ar Rumi
  27. Al Imam Muhammad An Naqib
  28. Al Imam Ali Uraidhy
  29. Al Imam Ja’far As Shadiq
  30. Al Imam Muhammad Al Baqir
  31. Al Imam Ali Zainal Abidin
  32. Al Imam Sayyidina Husein
  33. Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra
  34. Rasulullah SAW[1]
Kedua, terdapat pada kitab yang dikarang oleh seseorang tanpa nama dengan judul Silsilah Siti Fatimah, sebagai berikut:
  1. Muhammad Arsyad Al Banjari
  2. Abdullah
  3. Abu Bakar
  4. Abdurrasyid
  5. Abdullah al-Idrus al-Magribi
  6. Abu Bakar al-Hindi
  7. Ahmad
  8. Husin
  9. Abdullah
  10. Syaikh
  11. Abdullah Al-Idrus
  12. Abu Bakar as-Sakrani
  13. Abdurrahman as-Saqafi
  14. Maulana Ad-Duwailah
  15. Ali
  16. Alwi
  17. al-Faqih al-Muqaddam Muhammad
  18. Ali Khala Qasim
  19. Alwi
  20. Muhammad
  21. Alwi
  22. Abdullah
  23. Ahmad al-Muhajir lillah
  24. Isa  an-Naqib
  25. Muhammad an-Naqib
  26. Ali al-Arid
  27. Ja’far  as-Sadiq
  28. Muhammad al-Baqir
  29. Ali Zainal Abidin
  30. Sayyidina Husin
  31. Sayyidina Ali dan  Sayyidina Fatimah az-Zahra
  32. Sayyidina Muhammad SAW.[2]
Kedua versi silsilah/nasab diatas sama saja, hanya saja pada silsilah kedua ada yang terlewatkan dan saya tidak tahu apakah itu kesalahan M. Rusydi  yang menyalin  atau memang dari kitab Silsilah Siti Fatimah-nya. Pada catatan nasab yang kedua tidak ada  Ali Faqih Nuruddin dan Muhammad Shahib Mirbath yang pada nasab pertama berada di nomor 18 dan 19.
Perbedaan lainnya terdapat pada penulisan nama. Ada dua nama yang berbeda namun orang tua (bin)nya sama, yaitu Ubaidillah Bin Ahmad Al Muhajir  dan Isa Arrumi Bin Muhammad Annaqib
  1. Pada catatan nasab pertama tertulis Ubaidillah (nomor 24) sementara pada catatan nasab yang kedua tertulis Abdullah (nomor 22)
  2. Pada catatan nasab pertama tertulis  Isa Arrumi (nomor 26) sementara pada catatan nasab yang kedua tertulis Isa an-Naqib (nomor 24)
 Saya tidak bisa mengetahui secara pasti apakah kedua nama itu orang yang sama, hanya kekeliruan penulisan saja atau memang orang yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan pada catatan nasab tersebut mungkin hanya kesalahan penyalinan saja, yang jelas kedua nasab tersebut membenarkan bahwa Muhammad Arsyad Al Banjari adalah seorang keturunan Rasulullah, yang secara otomatis menyatakan bahwa yang mulia Guru Sekumpul juga seorang habib ber fam Al-Idrus (Al-Aydrus).
Lalu mengapa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tidak menyertakan fam Al-Idrus (Al-Aydrus) dibelakang nama beliau?. Keterangan yang saya dengar langsung dari Guru Sekumpul dalam pengajian beliau, bahwa penyembunyian Nasab itu bertujuan untuk menghindari penjajah Belanda yang katanya pada waktu itu mengincar setiap orang yang didirinya mengalir darah Rasulullah.

[1]  (1). Syajaratul Arsyadiyah, Mathba’ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H. (2).Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W. Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990. (3). Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Abu Daudi, Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003. — Saya tidak membaca langsung dari ketiga kitab tersebut, hanya menyalin dari Wikipedia  —
[2] Tanpa Nama, Silsilah Siti Fatimah (Salatiga: tanpa penerbit, 1992) 1. Dalam “THE INFLUENCE OF MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI ON THE RELIGIOSITY OF BANJARESE SOCIETY” oleh M. Rusydi (Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar